oleh

Pimpinan Khilafatul Muslimin Ditangkap, Sekjend DPP GMNI Apresiasi Kinerja POLRI

-Nasional-247 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA – bentengpapua.com. Penjemputan terhadap pimpinan Khilafatul Muslimin beberapa hari lalu oleh pihak kepolisian, GMNI menilai itu tindakan yang tepat. Kepolisian, pastinya sudah memiliki rekam jejak kelompok ini semenjak Tahun 2017, sesuai kabar yang beredar mengenai lahirnya organisasi tersebut. Ditambah lagi, pucuk pimpinan organisasi itu sendiri adalah mantan terpidana yang dikaitkan dengan sejumlah kasus terorisme. Sanksi terhadap Negara Islam Indonesia (NII) reborn, Hidzbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan berbagai tindakan proteksi dini dari varian ekstrim Kiri, semisal aksi vandalisme yang berbau Anarkisme, semua itu adalah ikhtiar yang tepat dari Negara melalui aparaturnya dalam rangka melindungi Ideologi Negara.

Sekjend DPP GMNI juga menyayangkan adanya oknum pengamat yang berkomentar bernada seperti: “ajak berunding dulu”, “kan hanya sebatas konvoi”, “mereka sudah ada beberapa tahun lalu kok”. Bagi Sujahri, komentar seperti itu dapat menimbulkan perasaan “self-extremism” atau perlindungan terhadap sejumlah gerakan “radikal-lembut”.

banner 336x280

Apa itu “radikal-lembut”? Istilah ini memang agak oksimoron, suatu majas pertentangan seperti “Ramah-tamah yang bengis”, sebagai gambaran untuk menyindir suatu ramah-tamah yang tidak terjadi secara tulus. Contoh lain, saat menyikapi kabar mengenai pelarangan sejumlah Mural Presiden. Siapapun boleh membela kebebasan membuat Mural, tapi menyamakan Mural dengan Karikatur yang biasa-biasa saja seperti di majalah atau tabloid, tentu itu suatu pandangan adalah keliru.

Dalam perspektif ideologi, segala hal diupayakan termuati ideologi. Misalnya Bahasa yang dipakai harus mempunyai kekuatan ideologi. Begitupun Seni, ia harus termuati ideologi. Mural yang mengkritik Presiden Jokowi, tidak bisa dilihat terpisah dengan muatan ideologi dibalik Si Pembuat Mural. Strategi semacam ini sebagai bahan propaganda untuk anti terhadap sistem, anti Negara, dan lebih banyak diinisiasi oleh ekstrim Kiri dengan gaya yang lembut. Bahkan, strategi semacam ini, juga tidak hanya bisa dilakukan oleh kelompok yang resmi terstruktur. Siapapun bisa berpotensi menjadi Anarko, secara mandiri.Kembali ke Terorisme berkedok Agama.

Bahwa “lone wolf” itu memang ada, dapat menebarkan virus kepada siapapun, dan agama apapun. Masih ingat kasus penembakan Masjid Selandia Baru? Atau Rasisme pada penembakan di New York pertengahan bulan kemarin? Potensi Serigala Kesepian itu bisa akan muncul apabila tindakan proteksi itu berjalan lambat, disusul para pengamat yang cenderung tidak menanggapi secara serius model lembut dari ekstrimis di era disrupsi saat ini.

Pandangan lain secara terbalik datang dari analis Kiri, sebut saja Ted Sprague. Dimana analisis Ted sering dipakai oleh mereka yang tanpa sadar, justeru menguatkan “self-extremism”. Biasanya dimulai dari menggiring opini kepada situasi ekonomi yang carut-marut. Penggiringan ini dimaksud karena eksrim Kanan atau Kiri akan menjamur dengan segala macam propaganda di dalam masyarakat dengan satu wacana, yakni Negara telah gagal. Gagalnya Negara bukan karena sistem per sistem, atau kelompok per kelompok, tapi yang Negara gagal karena basis Ideologinya salah. Pendek kata, Indonesia belum sejahtera karena masih menggunakan Pancasila.

Lanjut Somar, justeru kita menyadari fenomena ini sejak lama. Sebut saja Neo Ikhwanul Muslimin (IM), yang punya rekam jejak insureksi di Mesir, bahkan dikabarkan berujung pada pembunuhan Perdana Menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrashi pada Tahun 1948. Namun, di era 1971, Anwar Sadat memberi amnesti kepada kelompok ini. Kemudian bermetamorfosa dengan aktivitas sosial di akar rumput. Setelah itu, IM terjun ke dalam proses politik Mesir, dan berhasil membawa kemenangan Mursi, meskipun tidak berlangsung lama.
Kelompok ini telah ada sejak lama, dan sempat bersentuhan dengan proses dukungan kemerdekaan Indonesia. Tentu pada ruang dan waktu yang berbeda, termasuk dalam kepentingan yang berbeda. Seperti majas oksimoron “radikal lembut” di atas, adalah “Rahasia Umum”, kelompok ini telah eksis secara terbuka pasca reformasi. Yang perlu dikhawatirkan adalah momentum dimana semua kelompok ini dapat menyusun front bersama mengintervensi secara terbuka proses kontestasi pemilu skala Presiden. Potensi untuk itu kemungkinan besar bisa terwujud, bila jargon semisal “Khilafah adalah Amanah” dimainkan secara masif di akar rumput.

Wacana ini dapat terbentuk apabila model “radikal lembut” ini tidak ditangani secara dini oleh Kepolosian. Mungkin setelah ini Polri akan disibukan dengan cyber war yang menarik benang merah dari HTI dan FPI, menjadi Polri anti terhadap aspirasi ideologi Islam Allternatif ala kelompok-kelompok yang disebutkan tadi. Padahal, antara HTI, FPI, dan Khilafatul Muslimin, memiliki jejak geneologi ideologi yang berbeda. Namun, simpati publik akan diarahkan hanya berpusat pada Anti Islam. Di sini, Kepolisian perlu didukung, jangan biarkan Polisi sendiri.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed